pendidikan menurut Al Ghazali

pendidikan menurut Al Ghazali

Rokim malik sabarudin
Wednesday, 19 February 2020




ARTIKEL ILMIAH
Pemikiran Pendidikan Menurut Al-Ghazali


Dosen pengampu Muslih, M.pd.I
Disusun oleh:
Rokim malik sabarudin


FAKULTAS TARBIYAH
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT PESANTREN SUNAN DRAJAT
BANJARANYAR PACIRAN LAMONGAN JAWA TIMUR
2019



PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM AL-GHAZALI

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 M / 450 H – meninggal di Thus; 1111 M / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun adalah seorang filsuf dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.

Gelar dia al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (kini Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa dia bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jabatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.

Al-Ghazali adalah tokoh ahli yang menguasai banyak bidang ilmu diantaranya adalah:
1. Ahli ushul fiqh
2. Ahli fiqh yang bebas
3. Ahli ilmu kalam
4. Ahli sunah dan pelindungnya
5. Ahli sosiologi
6. Ahli rahasia alam dan hati
6. Filusuf 

Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa tinggi rendahnya kehidupan manusia sangat ditentukan oleh sifat penguasaan ilmu pengetahuan. Kewajiban utama manusia dalam pendidikan dan penggalian ilmu pengetahuan adalah tentang Dzat Allah yang Mahamutlak. Karena kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya nisbi, pertama tama harus diketahui tentang kebenaran mutlak yang hanya dimiliki oleh Allah. Pengetahuan dalam bentuk apapun tidak akan sampai pada kebenaran mutlak karena ilmu bersumber dari yang Mahamutlak, yakni Rabbul alamin. Dengan demikian Allah menurunkan Al-Qur’an kepada manusia sebagai petunjuk. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah Asy-Syura ayat 52 berikut:

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيم 

 Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjukan dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Dalam kitab Ar-Risalah Al-Ghazali membagi klasifikasi ilmu menjadi dua bagian besar,  yaitu ilmu syar’i dan ilmu ‘aqli. Dari dua pembagian ini, berkembang ilmu, dan sekaligus ia menilai tingkat validitas ilmu berdasarkan hierarkinya. Dalam Mizan Al-Amal, Al-Ghazali menjelaskan dua cara memperoleh ilmu, yaitu: cara pengilhaman dari tuhan dan cara belajar atau diusahakan. Dalam buku-buku  filsafatnya, Al-Ghazali menilai ilmu yang tidak diusahakan datang melalui limpahan akal aktif karena kemampuannya berada di atas Al-‘Aql bi Al-Fi’il. Akan tetapi, di dalam Mizan Al-Amal, ia menjelaskan bahwa ilmu ilmu itu diperleh dengan cara ilham.

Kemudian Al-Ghazali membagi metode perolehan ilmu menjadi dua, yaitu metode pengajaran manusia dan metode pengajaran tuhan. Metode pengajaran tuhan lebih tinggi ketimbang metode pengajaran manusia. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan Al-Ghazali, “Nafs Kulli lebih besar dan kuat hasilnya dalam pembelajaran apabila dibandingkan dengan metode Ta’allum”. Pernyataan itu menunjukan bahwa ilmu yang dihasilkan nafs kulli lebih bersifa unuversal, valid, dan tidak sparatis. 

Metode tafakkur melibatkan tiga alat dalam diri manusia. yakni Panca indra, akal, dan hati. Ilmu yang diperoleh indra disebut ilmu indrawi atau ilmu empiri. Ilmu lndrawi dihasilkan melalui proses:
 (l) Pantulan rangsangan dari luar
(2) pencerapan; 
(3) kemudian terjadi sintensis pengindraan; 
(4) dan akhirnya objek dan fenomena dunia luar dipantulkan secara khusus, hingga tingkat abstraksi.

Menurut pandangan AI-Ghazali, indra manusia terdiri dari indra luar dan indra dalam. Indra luar adalah panca indra yang dipahami secara umum, sedangkan indra dalam terdiri dari atas:

(1) indra bersama (Al-biss al-musytarak), yang berfungsi menerima kesan indra luar dan meneruskan ke indra batin; 
(2) indra penggambar (Al-khayyal), yang berfungsi melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indra bersama;
(3) indra imajinasi (Al-mutakhayyilat), yang berfungsi engatur gambar yang terlepas dari materinya dengan memisahkan dan kemudian menghubungkannya; 
(4) indra penganggap atau estima (Al-wahmiyah), yang berfungsi menangkap arti yang dikandung oleh gambar-gambaran itu: 
(5) indra pengingat (Al-hiffzhiyah), yang berfungsi menyimpan arti tangkapan indra estima. 

Metode indrawi ini sangat sederhana sehingga ilmu yang didapatkan pun bersifat sederhana, penuh fatamorgana dan ilusi, seperti dijelaskannya dalam Miyar-Al’Ilm, Misykat Al-Anwar dan Al-Munqid min Adh-Dhalal. Oleh sebab itu, ilmu indrawi bukan hakiki. Di samping pancaindra, akal juga merupakan alat untuk memperoleh ilmu, yang hasilnya disebut sebagai ilmu 'aqli. Menurut AI-Ghazali, akal diciptakan Allah dalam keadaan sempurna dan mulia, sehingga membuat derajat manusia tinggi. Kedudukan akal seperti seorang raja, yang memiliki tentara, yaitu tamyiz (daya membedakan), hifzh (daya hafal) dan fahm
(pemahaman).

Firman Allah dalam surah Al-imron ayat 190 yang berbunyi:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang beraka. (Q.S Al-Imron :190)

Al-Ghazali melihat akal sebagai kekuatan fitri, yang membedakan baik-buruk, manfaat-bahaya, dan sebagai ilmu tasawwuf dan tashdiq. Dalam Ihy'a ulumuddin, akal sebagai kemampuan yang membedakan manusia dari binatang, yang bisa mengetahui dari kemustahilan, kemungkinan, dan kemestian. Hal ini disebut hawiyat 'aqliyah. Begitu juga, dalam Ma'arij AI-Quds, lebih diperjelas, dengan mengatakan bahwa akal sebagai jiwa rasional, yang memiliki daya al-amilah (praktis) dan daya al'alimah (teoretis). Keduanya merupakan dua sisi dari akal yang sama. Sisi yang menghadap ke bawah (badan) disebut akal praktis dan sisi yang menghadap ke atas direbut akal teoritis. Akal teoritis, mempunyai empat kemampuan. yaitu: al-‘aql al-hayulani (akal materil), al-'aql bi al-malaqah (akal intelek), al-'aql bi al-fi’li (akal aktual), dan al-'aql bi al-mustafad (akal perolehan). Akal, diyakini Al-Ghazali sebagai jawhar (esensi) manusia. Bahkan, dalam Misykat Anwar, ia menyebut akal lebih berhak menyandang sebutan “cahaya” dibandingkan mata.

Selanjutnya, tentang qalbu (hati), dalam pandangan Al-Ghazali, mempunyai kedudukan penting dalam perolehan ilmu. Ilmu yang diperoleh qalbu lebih mendekati ilmu hakikat, melalui ilham. Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh institusi (al-dzawq). yang sebelumnya pada buku filsafat, diperoleh dengan ‘aql al-mustafad (Yasir Nasution. l987: 84).

Setelah mengungkap pengetahuan aksiomatis, jiwa mempunyai dua cara memperoleh ilmu: cara berpikir (disebut al-qiyas) dan cara merasa (disebut al-wijdan). Al-qiyas menggunakan al-mutakhayyilat, sedangkan al-wijdan menggunakan al-iradat. Otak berhubungan dengan akal, dan qalb berhubungan dengan dzawq (Yasir Nasution, I987: 82). Al-Ghazali memosisikan dazwq lebih tinggi dari pada indra dan akal. Dzawq adalah daya tangkap yang sekaligus “merasakan” kehadiran yang ditangkap, sehingga menghasilkan ilmu meyakinkan (ilm aI-yaqin), karena adz-dzawq menerima ilham dari Tuhan.

Dari hasil pengkajian kirab al‘ilm dari Ihya' ulumuddin, Risalah, Zawahir, Al-Quran dan Mizan Al'Amal, ditemukan empat basis klasifikasi. Pertama, klasifikasi ilmu syar’i dan ilmu ‘aql. Kedua, klasifikasi ilmu fardh 'ayn, dan fardh klfayah. Ketiga, klasifikasi ilmu teoretis dan praktis. Keempat, klasifikasi ilmu hudhuri (yang dihadirkan) ' dan ilmu hushul. 

Setelah melahirkan beberapa karya tentang kalam atas hasil penelitiannya, Al-Ghazali meneliti cara kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional untuk memperoleh pengetahuan yang hakiki dan sekaligus mempelajarinya dalam bidang filsafat secara otodidak sampai melahirkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Akhirnya, mengantarkan dia pada suatu kesimpulan bahwa teori ini tidak bisa dipercaya dalarn meyakinkan hakikat sesuatu di bidang metafisika dan sebagian di bidang fisika  berkenaan dengan akidah Islam, yang pada akhirnya ia meninggalkan metode para filsuf tersebut.

Setelah melanglang buana dalam mencari kepastian atas hakikat kebenaran dengan persepsi indrawi yang mengakibatkan Al-Ghazali tidak lagi mempercayai panca indranya, padahal menurut Al-Ghazali kebenaran itu adalah satu dan sumbernya adalah fitrah al-ashliyyat (fitrah yang asli). Persepsi ideal yang diungkapkan ini berdasar pada hadis Nabi bahwa setiap anak yang dilahirkan pasti dalam keadaan fitrah, orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi. Nasrani, atau Majusi.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir. Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan lafadz:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، حَتَّى يُعْرِبَ عَنْهُ لِسَانُهُ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Akhirnya, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa ia harus meneliti mulai dari hakikat pengetahuan yang bertitik tolak atas kebenaran ilmu yang diyakininya benar yang tingkat kebenarannya tidak diragukan lagi, seperti adanya kepastian kematian bagi seluruh makhluk tanpa kecuali. Setelah tidak menemukan kepastian melalui indra p analisisnya dalam berbagai penelitian, kepercayaan terhadap akal pun menjadi goncang. Hal ini karena dasar akal tidak dapat dibuktikan secara faktual sehingga dasar ini hanya bersifat suprarasional. Untuk memecahkan sumber kebenaran yang bersifat suprarasional itu. ia menemukan pendekatan tasawuf yang pernah dipelajarinya dan ia mencoba kembali atas memori kesufiannya. Dari pengalaman sufistiknya, ia berpendapat bahwa pengetahuan suprarasional itu ada di dunia ini. Apabila tidak demikian, pengetahuan itu baru akan diketahui setelah meninggal dunia. Dalam hal ini akhirnya Al-Ghanli mengalami puncak kebuntuan yang sangat serius dan ia beranggapan tidak ada lagi sumber pengetahuan yang dapat dipercaya.

Keadaan tersebut membuat Imam Al-Ghazali menderita kegoncangan jiwa selama dua bulan tanpa penyelesaian. Pada saat goncang seperti iru, ia mendapatkan inspirasi berupa Nur Ilahi yang memancar di lubuk hatinya sehingga ia sehat kembali seperti sediakala dan ia meyakini telah mendapat jawaban atas apa yang dicari dalam petualangan ilmiah yang cukup panjang. Akhirnya, ia dapat kembali menjalani hidup bersama keluarganya sampai akhir hayatnya dengan menggunakan metode ilmu dan amal. Pada tahun 499H /1106 M, berdasarkan pengakuannya, timbul kesadaran baru dalam dirinya bahwa ia harus keluar (uzlah) menuju tempat khalwat para sufi karena munculnya dekadensi moral dan amal di kalangan umat hingga di kalangan ulama.

Apabila disistematisasikan, pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pentingnya pendidikan berkaitan dengan lima aspek, yaitu sebagai berikut: 
1. Pendidikan dalam aspek kerohanian atau keimanan;
2. Pendidikan dalam aspek perilaku atau akhlak;
3.Pendidikan dalam aspek pengembangan akal atau intelektualitas dan kecerdasannya;
4. Pendidikan dalam aspek social-engineering atau rekayasa sosial; dan
5. Pendidikan dalam aspek biologis manusia atau kejasmaniahan.

Adapun ruang lingkup pendidikan islam yaitu:
1. Pendidikan keimanan
2. Pendidikan akhlak
3. Pendidikan intelektual
4. Pendidikan fisik
5. Pendidikan psiskis

Dalam pendidikan keimanan, Imam Al-Ghazali melalui Ihya ulumuddin, menjelaskan betapa pentingnya pendidikan keimanan ditekankan sejak anak didik usia dini. Pendidikan ketauhidan berkaitan dengan fitrah manusia. Oleh sebab itu, pengaruh lingkungan ketuarga, masyarakat, dan sekolah sangat besar sehingga harus memilih dengan baik di mana anak didik itu disekolahkan, agar kekuatan imannya terus bertambah.


Pendidikan pada aspek keimanan berkaitan dengan upaya memperbanyak dzikir kepada Allah agar kehidupan penuh dengan ketenangan. Anak didik yang menerima pendidikan aspek keimanan akan berhati-hati menjalani kehidupan di masyarakat, sehingga pendidikan keimanan implikasihya cukup signifikan terhadap perkembangan mentalitas makdidik.



DAFTAR PUSTAKA

Basri Hasan. “Filsafat Pendidikan Islam”. Bandung: Cv Pustaka Setia. 2009.
Zainal Abidin Ahmad. “Riwayat Hidup Al-Ghazali”.  Jakarta. Bulan Bintang. 1975.
Sohibul Tohir Muhammad. “Mushaf Aisyah”. Bandung: Jabal. 2010. 
Sohibul Tohir Muhammad. “Mushaf Al-Azhar terjemah”. Bandung: Jabal. 2010.
Nasution Yasir. “Manusia Menurut Al-Ghazali”. Jakarta: Rajawali Press. 1987.
Majid Abdul. “Hadis-Hadis Pendidikan”. Jakarta: Kencana. 2012.
Ridwan Muhammad, Susilo Joko Dkk. “Kajian Islam Tematik Pendidikan Agama Islam”. Samarinda:  Academika Pustaka Prima. 2015